Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Nabi Nuh telah berdakwah siang dan malam tanpa kenal lelah. Namun, kaumnya enggan menerima dakwah yang disampaikannya, dan tidak mengakuinya sebagai rasul Allah. Hingga akhirnya, ia memohon kepada Allah Swt. agar kaumnya yang membangkang itu diberi azab. Doanya pun dikabulkan. la diperintahkan untuk membuat sebuah perahu besar (bahtera) sebagai persiapan bila siksa berupa banjir besar datang.
Nabi Nuh diperintahkan untuk mengikutsertakan berbagai spesies binatang secara berpasang-pasangan, baik liar maupun
jinak, ke dalam perahunya. Setelah semuanya siap, pengikut Nabi Nuh dan hewan-hewan tersebut naik ke bahtera itu, turunlah hujan yang sangat lebat hingga mengakibatkan banjir besar. Selain mereka yang berada di atas kapal, tak ada satu pun yang selamat dari banjir tersebut.
Setelah beberapa lama berlayar di lautan banjir, air pun surut. Lalu, kapal Nabi Nuh terdampar (berlabuh) di sebuah bukit yang tinggi (al-judy). Peristiwa ini dikisahkan dengan sangat jelas di dalam al-Qur'an, sebagaimana firman Allah Swt. berikut:
"Dan, difirmankan, 'Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan), berhentilah!' Dan, air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit judi, dan dikatakan, 'Binasalah orang-orang yang zhalim." (QS. Hud [11]: 44)
Cerita mengenai banjir besar yang melanda umat Nabi Nuh tidak hanya dijelaskan di dalam al-Qur'an, tetapi juga dikisahkan dalam agama dan kebudayaan negeri lainnya. Dalam Injil (Bible), kisah serupa juga terdapat dalam Genesis 6: 15, 7: 4-7,8: 3-4, dan 8: 29. Begitu juga dalam mitologi Sumeria, Akkadia, Babilonia, serta kebudayaan India, Wales, Lithuania, dan Cina.
Para ahli dan peneliti sepakat bahwa banjir besar yang terjadi pada zaman Nabi Nuh benar-benar ada. Akan tetapi, muncul perbedaan pendapat seputar peristiwa itu. Setidaknya, ada dua hal yang menjadi kontroversi. Pertama, benarkah banjir besar itu menenggelamkan seluruh dunia? Kedua, apakah seluruh jenis
hewan (masing-masing sepasang) yang ada di muka bumi ini naik ke bahtera Nabi Nuh, termasuk hewan jinak dan liar?
Tentunya, ini bukan merupakan pertanyaan yang mudah dijawab. Sebab, dibutuhkan data empiris dalam berbagai bidang ilmu, seperti geologi, arkeologi, sejarah, astronomi, geografi, termasuk keterangan yang terdapat dalam kitab-kitab agama untuk membuktikan kebenaran tersebut.
Bukti nyata bahwa banjir yang menimpa kaum Nabi Nuh diyakini oleh banyak orang di dunia adalah seorang warga dari Belanda, Johan Huibers, membuat replika kapal Nabi Nuh beberapa tahun silam. Proyeknya itu ia klaim sebagai pembuktian kesetiaan imannya kepada Tuhan dan ajaran-Nya. Bukan hanya Huibers yang terinspirasi oleh kisah Nabi Nuh. Hingga beratus-ratus tahun, kisah mengenai bahtera Nabi Nuh menjadi inspirasi maupun perbincangan di kalangan awam, arkeolog, dan sejarawan dunia.
Misteri mengenai bahtera Nabi Nuh menyebabkan para peneliti arkeologi dari berbagai negara berlomba-lomba mengungkap kebenaran cerita itu dengan melakukan penelitian dan mencari tempat berlabuhnya bahtera tersebut. Mereka berusaha menemukan bangkai atau sisa-sisa dari perahu itu. Bahkan, sejumlah peneliti mengklaim telah menemukan bukti-bukti tentang keberadaan opal tersebut.
Lantas, di mana sebenarnya bahtera Nabi Nuh berlabuh setelah banjir besar yang menenggelamkan umatnya yang durhaka itu berlabuh?
Tanpa kenal menyerah, para arkeolog melakukan penelitian selama beratus-ratus tahun, dan mengamati hasil foto satelit untuk mencari bahtera yang masih menjadi misteri itu. Salah satu situs
yang dipercaya sebagai jejak peninggalan kapal tersebut terletak di pegunungan Ararat, Turki, yang berdekatan dengan perbatasan Iran. Sedangkan, beberapa ahli menyatakan bahwa bahtera Nabi Nuh berlabuh di tempat lain. Namun, berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan serta hasil analisis, di Turki inilah yang dianggap paling mendekati kebenaran.
Di Pegunungan Ararat, Turki, para peneliti meyakini sebagai tempat berlabuhnya kapal Nabi Nuh saat banjir besar yang menenggelamkan umatnya surut. Di atas Gunung Ararat di perbatasan antara Turki dan Iran inilah, bahtera ditemukan pada ketinggian sekitar 2.515 dpl.
Penemuan lokasi kapal Nabi Nuh semakin mudah setelah memanfaatkan peta satelit dari Google Earth, yang diketahui terletak
pada ketinggian sekitar 2.515 m dari permukaan laut (dpl). Lokasinya berada di kaki bukit yang agak rata. Sedangkan, di daerah sekitarnya terdapat lembah raksasa yang memiliki ketinggian jauh lebih rendah. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa lokasi tersebut memang sangat memudahkan kapal Nabi Nuh untuk berlabuh sebelum banjir benar-benar surut.
Bangkai kapal Nabi Nuh tersebut ditemukan pada 11 Agustus 1979 di wilayah Turki. Pemerintah Turki mengklaim bahwa bahtera tersebut terpendam selama kurang lebih 5.000 tahun. Kini, situs itu telah dibuka untuk umum dan menjadi objek wisata. Selain itu, pemerintah Iran juga melakukan penyelidikan di Gunung Sabalan yang terletak 300 km dari situs di Pegunungan Ararat.
Situs www.noaharks-naxuan.com melansir beberapa foto terkait dengan penemuan bekas kapal Nabi Nuh di lokasi Gunung Ararat. Dalam foto tersebut, tampak sebuah bentuk simetris raksasa seperti cekungan perahu. Diduga, tanah, debu, dan batuan vulkanis yang memiliki usia berbeda-beda telah masuk ke perahu tersebut selama ribuan tahun sehingga memadat dan membentuk seperti perahu.
Para ahli semakin yakin bahwa di Gunung Ararat inilah, kapal Nabi Nuh berlabuh. Sebab, di sekitar cekungan tersebut, ditemukan pula sebuah batu besar dengan lubang pahatan. Mereka percaya bahwa batu itu adalah drogue-stones. Pada zaman dulu, batu tersebut biasa dipakai pada bagian belakang perahu besar (kemudi) untuk menstabilkan perahu sewaktu berlayar. Tidak hanya itu, mereka juga menemukan sesuatu yang tidak lazim pada batu tersebut, yaitu adanya molekul baja yang diperkirakan berusia ribuan tahun dan dibuat oleh tangan manusia.
Beberapa riwayat telah menyebutkan bahwa kapal yang dibuat Nabi Nuh sangat besar. Dari hasil pengukuran yang dilakukan di lokasi, diperkirakan kapal tersebut memiliki luas 7.546 kaki, dengan panjang sekitar 500 kaki, lebar 83 kaki, dan tinggi 50 kaki. Dalam situs www.worldwideflood.com, juga dibahas secara lebih mendetail, mulai dari ukuran perahu, hewan yang naik ke kapal, bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat perahu, dan lain sebagainya.
Sementara itu, salah seorang peneliti muslim yang bernama Baidawi menjelaskan bahwa ukuran kapal Nabi Nuh sekitar 300 hasta (50 m, dan luas 30 m) dan terdiri dari tiga tingkat. Menurut penjelasannya, tingkat pertama kapal digunakan untuk meletakkan binatang-binatang liar dan yang sudah dijinakkan. Lalu, pada tingkat kedua, ditempatkan manusia, sedangkan pada tingkat ketiga digunakan untuk burung-burung.
Mengacu pada peristiwa banjir yang pernah melanda bumi, para ahli memperkirakan bahwa kapal Nabi Nuh dibuat sekitar tahun 3465 SM. Beberapa pendapat lain mengatakan bahwa perahu tersebut dibangun di sebuah tempat bernama Shuruppak, yaitu sebuah kawasan yang terletak di selatan Irak. Dalam beberapa riwayat, memang disebutkan bahwa Nabi Nuh diutus di kawasan
Irak sekarang. Jika perahu itu dibangun di selatan Irak dan terdampar di utara Turki, maka kemungkinan besar bahtera tersebut telah terbawa arus air sejauh 560 km.
Temuan lain yang mengejutkan adalah cukup banyak potongan kayu di daerah penggalian tersebut yang berhasil ditemukan. Mereka juga menemukan sepotong kayu panjang yang berbentuk persegi. Para peneliti dibuat takjub saat mengetahui bahwa potongan kayu yang berukuran 14 x 10 inci itu ternyata kondisinya jauh lebih baik dibandingkan potongan-potongan kayu yang lain.
Setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, pada akhir tahun 1952, para peneliti mengambil kesimpulan bahwa potongan kayu tersebut merupakan potongan dari bahtera Nabi Nuh yang terdampar di puncak Gunung Ararat. Hal yang menarik dari potongan kayu tersebut adalah adanya beberapa ukiran dari huruf kuno, yang merupakan bagian dari bahtera tersebut. Setelah terbukti bahwa potongan kayu ini merupakan potongan kayu dari bahtera Nabi Nuh, para peneliti mulai mencari makna dari yang tertera di potongan kayu itu.
Sebuah dewan yang terdiri atas kalangan pakar dibentuk oleh Pemerintah Rusia di bawah Departemen Riset. Mereka mencari tahu makna dari tulisan tersebut. Pada 27 Februari 1953, Prof. Solomon dari Universitas Moskow, Prof. Ifa Han Kheeno, dari China, Mr. Mishaou Lu Farug, seorang pakar fosil, dan beberapa ilmuwan lainnya mulai bekerja untuk meneliti potongan kayu tersebut.
Selama kurang lebih 8 bulan, akhirnya mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa bahan kayu tersebut sama dengan bahan kayu yang digunakan untuk membangun bahtera Nabi Nuh. Menurut mereka, Nabi Nuh meletakkan plat kayu itu di kapal demi keselamatan dan agar mendapatkan ridha llahi.
Di tengah-tengah potongan kayu tersebut, terdapat sebuah gambar yang berbentuk telapak tangan serta terukir beberapa kata dari bahasa Saamaani. Mr. N.F. Max, seorang pakar bahasa kuno dari Manchester, Inggris, menerjemahkan kalimat itu:
"Ya Allah, Penolongku, jagalah tanganku dengan kebaikan dan bimbingan dari Tubuh-Mu Yang Suci, yaitu Muhammad, Ali, Fatima, Shabbar dan Shabbir. Karena mereka adalah yang teragung dan termulia. Dunia ini diciptakan untuk mereka, maka tolonglah aku demi nama mereka."
Semua orang sangat terkejut setelah mengetahui arti tulisan tersebut. Terutama yang membikin mereka sangat takjub adalah potongan kayu tersebut tetap utuh dan tidak rusak sedikit pun. Saat ini, potongan kayu tersebut masih disimpan di Pusat Penelitian Fosil Moskow di Rusia.
Kebenaran penemuan kapal Nabi Nuh memang masih menjadi perdebatan banyak pihak. Akan tetapi, berdasarkan bukti-bukti yang berhasil ditemukan, para peneliti percaya bahwa pegunungan Ararat merupakan tempat berlabuhnya kapal Nabi Nuh. Dan, ayat al-Qur'an yang menyebutkan bahwa kapal tersebut berlabuh di tempat yang tinggi (al-judy), maka Gunung Ararat merupakan tempat yang sangat cocok.
0 comments
Post a Comment
Dilarang berkomentar SARA :)